Saturday, August 20, 2016

KEHANCURAN KRATON SEMBILANGAN

(PART I)

Berawal dari permintaan Sri Susuhunan Pakubuwono II mengutus seorang kapten Belanda dari Ponorogo kepada Gubernur Djenderal yang ada di Betawi dan kepada Gezaghebber di Surabayadengan maksud meminta pertolongan Kompeni Belanda agar supaya menangkap Susuhunan Amangkurat V (Sunan Kuning) dengan menjanjikan jika berhasilm akan memasrahkan kepada Compagnie semua kabupaten-kabupaten yang terletak di pesisir. Oleh karena itu, Gubernur Djenderal di Betawi mengirimkan utusan dan surat kepada Pangeran Tjakraningrat IV meminta tolong sipaya beliau mengusir Sunan Kuning dari keraton dan menghancurkan kaum pemberontak itu. Pangeran Tjakraningrat IV akan memberikan pertolongannya dan mengusir kamu pemberontak itu dari kertosuro dengan syarat jika berhasil, Tanah Jawa mulai disebelah timur Gunung Lawu dibawah perintahkan kepada beliau dan keluarga beliau. Permintaan ini disanggupkan oleh Gubernur Jenderal di Betawi.
Pangeran Cakraningrat IV mengirimkan Pasukannya dan dipecah jadi dua. Yang pertama menuju Madiun dibawah komando Raden Djojosudiro dan Raden Sirnomenggolo, sedang yang kedua melalui kabupaten-kabupaten dipesisir utara dari pulau Jawa yang ada dibawahnya termasuk daerah Semarang dibawah komando Raden Wasingsari. Dan Akhirnya Pangeran Cakraningrat IV memenangkan pertempuran tersebut. Namun Kompeni Belanda mengingkari janjinya.
Akhirnya Pangeran Cakraningrat mengirimkan dan menaklukkan Sumenep dan Pangeran Tjokronegoro melarikan diri ke Surabaya dan meminta bantuan Kompeni Belanda, dan kompeni Belanda mengembalikannya ke Sumenep dan ditetapkan menjadi Bupati jua disana sedangkan pasukan Bangkalan kembali ke Bangkalan. Belanda juga mengirimkan pasukannya untuk menjaga dari serangan Pasukan Pangeran Cakraningrat IV.  
Pasukan Belanda menyerbu Juga Gresik yang sudah ditaklukkan oleh Pangeran Cakraningrat IV dari Surabaya dan pasukan Madura mengalami kekalahan dan Bupati Gresik yang tadinya menyingkir ke Kerto Suro dikembalikan pula, kemudian pasukan Sumenep dan Pemekasan beserta pasukan compeni Belanda yang menjaga di Sumenep berkumpul Pula dan membuat pertahanan di Daerah Desa Tjerek ( Batas Kabupaten Sampang dan Pemekasan ), sedangkan Pasukan Madura membuat Pertahanan Di Daerah Desa Batubesi atau (Kecamatan Camplong Daerah Sampang ), pasukan Kompeni datang dengan membawa bala bantuan dari betawi bergabung dengan pasukan Sumenep – Pemekasan. Pertempuran terjadi didesa- desa kecamatan Camplong. Pasukan Madura mengalami kekalahan hebat sehingga terpaksa kembali ke daerah Batubesi. Raden Djojopramina, Wasing sari dan Djojosudiro memohon kepada Raden Tumenggung Sosrodiningrat dan Ronodiningrat supaya beliau-beliau jangan berdiri di garis depan pertempuran ,sedangkan mereka bertiga akan terus menembus pertahanan musuh dan tidak akan takut mati, karena mereka bertiga tidak suka melihat Madura kalah lebih baik mereka mati sebelumnya, dan mereka bertiga telah cukup menerima penghargaan dan kebijaksanaan dari Pangeran Tjakaningrat IV  sehingga mereka tidak cukup dengan membalas budi biasa saja. Maka kedua orang Tumenggung bersaudara itu membalas dengan perkataan bahwa matahari tidak akan terbenam sebelum waktunya dan tetap berdiri digaris depan pertempuran.
 
Tiba-tiba Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro dengan pasukannya menyerbu kemuka melalui dua orang Tumenggung tadi, sedangkan Raden Wasingsari menyerbu di belakang kedua pasukan tadi.Dua orang Tumenggung itu terus juga menuntut dari belakang ikut menyerbu. Dengan demikian pasukan-pasukan kompeni Belanda ,sumenep dan pemekasan mengalami kekalahan dan menyingkir kesebelah timur dengan terus dikejar oleh pasukan Madura Barat. Di dalam pasukan sumenep ada seorang sanak keluarga Bangkalan bernama Raden Purwokusumo yang dulu pernah di buat malu oleh Raden Djojopramia. Ia (purwokusumo) ikut memimpin pasukan sumenep ingin membalas dendam kepada Djojopramia. Maka Raden Djojopramia dan Djojosudiro di dalam keadaan amat lelah mendapat serbuhan dari tenanga baru yang di pimpin oleh Raden Purwokusumo tidak dapat mempertahankan diri sehingga mereka berdua gugur didalam pertempuran itu. Leher dari kedua Raden itu di potong dan kepalanya di bawa kepada pengeran Tjogronegoro sumenep, kepala-kepala mana menggigit bibir bawahnya dengan kumisnya kelihatan masih tegak. Setelah tentara Sumenep melihat kedua kepala tadi mereka sama-sama berteriak :  “kepala dua orang pemimpin pasukan Madura telah dating”, Maka orang-orang yang mendengar suara teriakan itu sama-sama melarikan diri bercerai-berai kerena menyangkan bahwa dua orang pemimpin Madura itu mengamuk juga, Pangeran Tjokronegoro melarikan diri. Maka setelah di ketahui orang yang sebenarnya itu dua kepala telah tidak ada tubuhnya barulah mereka kembali dari tempat pelariannya. Yang demikian itu di kemudian menjadi buah bibir, bahwa Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro setelah matinya masih mengamuk kepada musuhnya. 
Pasukan Madura terpaksa mundur ke sebelah barat. Raden Wasingsari menunggu serangan musuh di desa kelampis (di antara Blega dan Torjun) . Disana terjadi pula pertempuran, akan tetapi pasukan Madura tidak kuat mempertahankan diri di sebabkan datangnya pelor seperti air hujan. Maka Raden Wasingsari gugur disana. Setelah Raden Wasingsari gugur, maka pasukan Madura yang ia pimpin datang berkumpul dengan pasukan yang di pimpin oleh kedua Tumenggung bersaudara itu. Kedua orang pemimpin itu tetap berdiri tegak di tengah-tengah hujan peluru dari musuhnya, oleh sebab itu tentara Madura tetap berbesar hati. Akan tetapi setelah hampir waktu masuk matahari kedua orang pemimpin itu merasa kasihan terhadap tentaranya dan mengundurkan diri ke belakang mendekati tempat pasang gerahannya. Setelah matahari terbenam, pertempuran di berhentikan. Raden Tumenggung Sosrodiningrat mengirimkan utusan kepada ayahnya, bahwa Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro telah sama-sama gugur. Setelah Pangeran Tjakraningrat IV menerima berita itu, maka beliau amat terharu dan mengambil kepastian bahwa perangnya tidak akan menang. Beliau mengirimkan utusan kepada putra beliau yang menjadi bupati di Sedayu agar supaya menarik pasukannya yang ada di tanah jawa agar supaya bupati Sedayu menyerahkan diri kepada kompeni Belanda, yang demikian itu mengandung maksud agar supaya bupati masing dapat di beri kesempatan berdiri memerintah di tanah Madura karena beliau khawatir nanti tanah Madura di perintah oleh Kompeni Belanda. Maka bupati Sidayu setelah menerima titah ayahnya terus mengirimkan surat kepada kompeni Belanda (Gesaghebber di surabaya dan Gesagvoerder dari kapal perang belanda di tanjung pangka). Setelah berita tentang penyerahan diri  bupati Sedayu  terdengar juga kepada pasukan kompeni Belanda yang ada di sumenep,  maka pasukan tersebut menarik kembali tentaranya begitu juga bupati sumenep dan pamekasan. kemudian Pangeran Tjakraningrat  IV menyingkir ke Banjarmasin dan membawa putra-putra nya : 1. Raden Tumenggung Sosrodiniongrat , 2. Raden Tumenggung Ronodiningrat; 3. Rd.Aju Roman (R.Aju Sugih) dan Raden Aju  Demis(R. Aju Anom). Puteranya yang di kirim ke Bangkulen (Bengkulu di Sumatra) bernama Raden Tumenggung Wirodiningrat terus tidak pulang kembali ke Madura , beristri disana dan sekarang banyak keturunannya ada disana. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1745. Kompeni terus memasuki keraton di Sembilangan, dan menghancurkannya pada akhir masa kerajaan Madura. 





Untuk Versi Lengkapnya silakan hubungi Blogger atau R.P. Abd. Hamid Mustari Cakraadiningrat selaku Sesepuh Keluarga Kasultanan Bangkalan. Terimakasih.


 
 
 
 
 
Source : - Catatan kecil keluarga, - Tata Tjara pemerintahan ( Kj. Zainal Fatah ).
Posted by : Den Mas Agus

0 comments:

Post a Comment