Sunday, October 22, 2017

BANGSACARA DAN RAGAPADMI ------ Part I

Cerita Khas dari Pulau Mandangil - Sampang 

ANTARA SEPAH DAN TEBU IBARAT “Habis manis sepah dibuang”, yang sudah kuno itu sampai saat ini masih dikenal orang, bahkan seringkali masih terpakai. Dalam arti sebenarnya, terlukis seruas tebu, dikupas lalu dimakan, dihisap airnya yang manis. Jika airnya sudah terhisap habis, tinggallah sepahnya kemudian dibuang. Hal itu dikiaskan kepada orang yang mula-mula sangat menghargai sesuatu atau seseorang. Akan tetapi setelah ia bosan atau tidak memerlukannya lagi, lalu menyia-nyiakahnya. Demikianlah halnya dengan Raja Bidarba dan Madura. Raja itu mempunyai patih bernama Bangsapati, dan mempunyai seorang pelayan yang sangat dikasihinya bernama Bangsacara. Permaisurinya empat orang, dan masih banyak lagi istrinya yang lain. 

Di antara istri-istrinya yang banyak itu , terdapat seorang yang bernama Ragapadmi. la rnasih muda lagi’pula sangat cantik, lebih dan yang lain. Tidak heran jika Raja Bidarba sangat sayang kepadanya, sehingga yang lain hampir-hampir terlupakan. Akan tetapi dengan tidak disangka-sangka Ragapadmi terserang penyakit campak. Sekujur tubuhnya penuh bintul-bintul. Ketika bintul-bintul itupecah, melelehlah nanah tak henti-hentinya. Ragapadmi yang semula cantik molek berubah menjadi sangat jelek. Tubuhnya berbau busuk. Wajahnya yang dahulu menjadi pujaan setiap lelaki yang memandangnya, kini bahkan tampak menakutkan karena luka-lukanya. Raja Bidarba menjadi kesal melihat keadaan Ragapadmi. Lebih-lebih setelah diusahakan mengobati, segala macam obat tak ada yang dapat menyembuhkannya. Raja Bidarba lalu memanggil Bangsacara. “Hai Bangsacara! Putri Ragapadmi ternyata tídak dapat dìobati lagi. Segala macam usaha sia-sia belaka,” demikian ujar Raja Bidarba setelah Bangsacara datang menghadap. “Lalu bagaimana kehendak Paduka?” tanya Bangsacara. “Begini Bangsacara” Raja Bidarba berhenti sejenak, lalu ujarnya meneruskan, “Bawalah dia ke rumahmu. Dan ambillah sebagai istrimu untuk selama-lamanya.” “Baiklah, Paduka. Jika memang demikian keputusan Paduka hamba tidak akan menolak. Segala perintah Paduka akan hamba laksanakan dengan patuh.” Kemudian raja berkata kepada putri Ragapadmi, ujarnya, “Ragapadmi kekasihku, lakukanlah perintahku. Ikutilah Bangsacara. Mudah-mudahan engkau menemukan kebahagiaan bersama dia.” “Apa pun perintah Paduka, meskipun harus menjadi istri pelayan, pasti akan hamba taati,” jawab Ragapadmi. 

Ketika Bangsacara dan Ragapadmi meninggalkan istana, hari masih pagi. Matahari belum sampai sepenggalah tingginya,sehingga panasnya belum menyengat kulit. Lebih-lebih karena gumpalan-gumpalan awan agak tebal di ufuk timur menghalang sinar yang akan memancar. Suasana itu membuat alam pagi tidak berseri. Kicau burung pagi sudah lenyap. Angin pun sama sekali tidak berhembus. Alam seolah-olah menahan napas melihat kemuraman wajah Bangsacara dan kedukaan Ragapadmi. “Sungguh malang nasibku ini. Tak berharga dan tak berdaya.Semua menjauhi diriku. Bahkan raja pun sampai hati pula mengusir diriku dan istana. Bagaimana aku tidak akan menangis mengingat itu semua!?” Demikian keluh-kesah Ragapadmi sepanjang jalan. Kemudian air matanya meleleh bercucuran, dan tangisnya tak tertahan lagi. 

Iba juga hati Bangsacara melihat keadaan Ragapadmi, meskipun sebenarnya terasa sangal berat untiik melaksanakan perintah Raja Bidarba. Ltulah sebabnya ia tampak muram. la mengelüh dalam hati, “Mengapa aku harus mengawini perempuan penyakitan seperti ini?” “Adinda Ragapadmi, jangan engkau menangis sepanjang jalan seperti itu . Tidak pantas dilihat orang!” “Baik, Kakang! Akan tetapi pintaku padamu,. tepatilah janjimu di hadapan raja. Kasihanilah diriku. Aku bersumpah akan tetap setia kepadamu sampai akhir hayatku,” jawab Ragapadmi.Ibu Bangsacara tinggal di sebuah dusun jauh dan kota. la hidup sendiri, mendiami sebuah rumah kecil yang sederhana, akan tetapi kelihatan bersih dan rapi. Umurnya sudah mendekati setengah abad. PekerjaaflnYa yang tetap sebagai penjaga sebuah makam atau juru kunci. 

Seperti biasa sore itu ia sedang menyapu halaman depan rumahnya. Di saat itu lah muncul Bangsacara dan Ragapadmi di halaman. Dengan tergopoh-gopoh ibu Bangsacara menyongsong kedatangan anaknya. Sambil memeluk mesra seraya ia bertanya, “Bangsacara! Siapa temanmu itu? Dan mengapa tubuh nya penuh luka mengerikan seperti itu? ”Bangsacara lalu menceritakan siapa sebenarnya perempuan yang ia bawa, dan bagaimana perintah Raja Bidarba kepadanya. Pada akhir ceritanya, Bangsacara berkata, “Akan tetapi berat sungguh hatiku untuk melaksanakan perintah itu.” “Mengapa?” tanya ibu Bangsacara terkejut mendengar kalimat anaknya yang terakhir. Pada hal semula wajahnya tampak berseri seri, bibir tersenyum simpul, sedang kepalanya terangguk-angguk.Kini senyum orang tua itu lenyap. Wajahnya yang tidak lagi berseri terangkat menatap anaknya dengan sorot mata penuh pertanyaan. Ketika Bangsacara tergagap dan tidak segera menjawab, orang tua itu mempertegas pertanyaannya. “Mengapa engkau hendak mengingkari janji dan menentang perintah raja,anakku?Mengapa?” “Ibu! Buat apa aku kawin dengan seorang putri, tetapi tubuh nya penuh luka seperti itu,” jawabnya sambil menunjuk Raga padmi, lalu ujarnya lebih lanjut, “Lebih baik aku tidak kawin selama-Iamanya daripada kawin dengan perempuan busuk.” “Tetapi itu berarti engkau ingkar janji dan menentang perintah raja. Jangan begitu, Nak!” Peringatan itu sia-sia. Tanpa memperdulikan kata-kata ibunya, Bangsacara mengambil segenggam tanah. Dan sambit menaburkan kembali tanah itu dari genggamannya, ia berkata lantang, “Langit dan bumi menjadi saksi! Aku bersumpah! Seandainya aku sampai mengambil Dewi Ragapadmi menjadi istriku, aku rela tubuhku hancur lebur seperti Ieburnya tanah yang aku taburkan ini!” Hancur luluh perasaan Putri Ragapadmi mendengar ucapan itu. Sedangkan ibunya, sebagai orang yang taat beribadat menjadi cemas. la berpendapat bahwa sumpah itu sangat berbahaya. Dengan suara parau karena rnenahan gejolak hati, ia masih mencoba memperingatkan anaknya. “Wahai anakku Bangsacara! Mengapa engkau bersumpah seperti itu ? Seandainya engkau betul-betul tidak mau, ya sudah lah. Tetapi tak usah bersumpah segala. Tak baik kelak kesudahannya. Tidak mau, ya cukup tidak engkau laksanakan. Jadi tidak ada kemungkinan engkau melanggar tabu. Tidakkah engkau takut seandainya terkena laknat Tuhan?” Bangsacara sadar juga akan keterlanjurannya. Tunduk terpekur, dan sepatah kata pun ia tidak menjawab peringatan ibunya, sampai orang tua itu meneruskan kata-katanya. “Serahkanlah Putri Ragapadmi kepadaku, dan tinggalkan dia di sini. Engkau tidak sudi, akan tetapi aku akan mengambilnya sebagai anakku. Sedapat-dapat akan aku rawat dan akan kucoba mengobati penyakitnya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang rnelimpahkan pertolongan.” Tentu saja Bangsacara menyetujui permintaan ibunya. 

Tidak lama kemudian ia minta ijin kembali ke istana. “Lama benar aku menunggu kedatanganmu, Bangsacara Bukankah baik-baik saja perjalananmu?” tanya Raja Bidarba setelah Barigsacara datang menghadap. “Berkat restu Paduka perjalanan harnba tidak menernui rintangan apa pun. Hamba agak terlambat, karena harus berunding dengan orang tua hamba.” “Bagaimana dengan orang tuamu?” “Ibu hamba akan berusaha mengobati penyakitnya.” “Syukurlah jika dernikian. Mudah-rnudahan ia dapat sembuh dan kembali seperti sediakala.” Mendengar kata-kata Raja Bidarba yang terakhir itu Bangsa cara tidak menyahut. Kepalanya semakin tunduk, dan tiba-tiba hatinya berdesir, selintas teringat akan sumpahnya. Sementara itu sepeninggal Bangsacara, ibunya membimbing Ragapadmi masuk kedalam rumah. perempuan tua penjaga makam itu memeriksa penyakit Ragapadmi. Dahínya berkerut. 

Akan tetapi setelah ia mengetahui dengan pasti apa penyakit Ragapadmi, ketegangan wajahnya seketika lenyap. Seulas senyuman dan seleret harapan terbayang di matanya, lalu ujarnya dengan suara keibuan, “Ragapadmi, kuatkanlah hatimu menerima cobaan ini. Mariah kita mohon pertolongan Tuhan, semoga usaha ibu berhasil.” “Sangat besar hutang budiku pada ibu . Aku pasti tidak akan kuasa membalaSnya,” jawab Ragapadmi. “Jangan kau pikirkan hal itu. Sudah lazim, manusia harus tolong menolong. Apalagi engkau sudah kuanggap sebagai anak sendiri.” Malam telah berlalu. Fajar pagi hampir menyingsing. ibu tua penjaga astana telah siap hendak pergi ke pasar. Setibanya di pasar ia langsung menuju penjual ramuan jamu yang juga menjual prusi. Sebongkah prusi sebesar kepala bayi ditanyakan berapa harganya.
“Berapa harga prusi itu ?” ujarnya sambil menunjuk. Penjualnya terheran-heran. Pikirnya, “Akh! Nenek-nenek ini masih sempat juga bergurau,” oleh karena itu dengan acuh tak acuh ia menjawab, “Empat rupiah!” “Seringgit ya!?” Si penjual mengangguk. Masih bercampur heran ia memandang pembelinya. ibu penjaga astana tidak memperdulikan. Cepat ia membayar, dan setelah menerima bungkusan prusi, cepat-CePat ia pergi. Pulang. Tanpa mengenal lelah, setibanya di rumah langsung mengambil lumpang dan antan. Prusi ditumbuk halus, ialu ditebar rata disebuah nyiru dan dijemur di atas teratak bambu di samping rumah Kemudian tiba giliran Ragapadmi di bawa ke kamar mandi. “Cebar cebur, cebur, cebur, cebur,” suara air menyirami sekujur tubuh Ragapadmi. Dengan hati-hatí dan teliti Ibu angkat Ragapadmi membersíhkan Iuka-iuka dan nanah-nanah kering hingga benar-benar bersih. Sesudah selesai mandi, tepung prusi yang sudah dijemur ditaburkan di sekujur tubuh yang penuh luka. Prusi senyiru itu habis. Terkena oleh daya obat tersebut Ragapadmi pingsan tak sadarkan diri Sehari semalam ia tetap diam belum juga siuman. Hampir-hampir seperti mati. Pagi berikutnya barulah ia sadar bertepatan dengan terbitnya matahari. Akan tetapi belum mampu bergerak. Tiga hari kemudian luka-lukanya sudah kering. Baunya yang busuk sudah lenyap. Dan beberapa hari kemudian kulitnya mulai mengelupas. Pada tahap mengelupas itu, rupa Ragapadmi tidak keruan lagi. Jelek sekali. Seperti kain yang dekil dan cabik-cabik menyerupai sisik-sisik menganga. Akan tetapi setelah kulit-kulit yang mengelupas itu rontok seluruhnya, ja telah menjelma kembali menjadi seorang putri yang cantik jelita, lebih cantik dari sebelum ia sakit campak. Ragapadmi kini laksana bulan purnama yang baru saja terbit menjenguk alam senja di ufuk timur. Kulit nya yang kuning langsat menjadi semakin cemerlang karena dirawat dengan teliti. Setiap hari dilulur dengan mangir wangi, sehingga kulitnya saja telah membikin pesona tersendiri. Keadaannya telah benar-benar pu!ih, bahkan nampak tebíh cantik. Kini pekerjaannya setiap han membatik, menenun kain limaran serta kain songket bersulam benang emas. 

Bunga kenangaungu selalu terselip di sanggulnya. Dan jika sedang bekerja, tempat sirih dari emas selalu tersedia di hadapannya. Ibu angkatnya,setiap han sehabis bekerja selalu menungguinya ketika Ragapadmi tengah mengerjakan pekerjaannya. Demikian kagumnya ia akan kecantikan anak angkatnya, hingga tenlongong-longong melompong memandangi Ragapadmi. Terlintas dalam angan-angan,“Alangkah senangnya hatiku, jika Ragapadmi ini menjadi menantuku.” Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan sumpah anaknya. lasangat menyesali kelakuan anaknya, sehingga tanpa ia sadari ia menarik nafas panijang. Bibirnya terkuak sedikit. “Aaaaaaakh!” keluhnya panjang mengejutkan Ragapadmi. “Mengapa ibu mengeluh? Apakah yang ibu sedihkan?” Tanya Ragapadmi sambil memandang ibu angkatnya. “Tidak apa-apa. Aku hanya teringat kakangmu, Bangsacara,” jawabnya jujur. “Ya, memang, kakang sudah lama tidak pulang. Mungkin malahan tidak akan pulang.” “Mengapa?” “Barangkali takut atau jijik melihat aku.” “Ragapadmi! Apakah engkau masih marah kepada kakangmu?” “Marah? Tidak, Bu. Bahkan sebenarnya sayalah yang takut pada kakang. Terutama takut pada sumpahnya.” “Aaaaaakh!” sekali lagi perempuan itumengeluh panjang., dan kermudian keduanya terdiam. Mereka tidak tahu bahwa pada waktu yang hampir bersamaan Bangsacara teringat kepada Ragapadmi. Mendadak ia ingin pulang ke kampungnya. Lalu ia menghadap Raja Bidarba. “Baginda, jika sekiranya ada berkenan paduka, hamba ingin menjenguk ibu ke kampung karena rasanya telah lama hamba tidak bertemu. Dan hamba akan segera kembali ke mari.” “Baiklah Bangsacara Aku perkenankan tetapi jangan terlampau lama engkau tinggal di sana.” Setelah mendapat perkenan raja, Bangsacara mohon diri lalu segera berangkat dengan Iangkah-langkah cepat. 

Baru setelah rumahnya tinggal beberapa puluh langkah lagi ia memperlambat Iangkahnya. Ketika ia membelok di halaman, entah mengapa tiba tiba hatinya berdesir. Bangsacara tertegun sejenak. Lalu perlahan lahan ia memasuki pendapa. Ketika ibu nya melihat kedatangannya, dengan tergopoh-gopoh menyongsong seraya meluncur sambutannya dengan nada riang melonjak-lonjak. “E, eeeel Kiranya engkau datang Bangsacara. Baik-baik saja bukan, perjalananmu?” “Selamat Bu, berkat restu prabu.” Bangsacara akan menanyakan keselamatan penghuni rumah. Akan tetapi tidak sempat lagi, karena ibu nya sudah masuk kembali ke dalam rumah. Bangsacara tidak tahu mengapa ibunya seolah-olah jadi sibuk seperti seorang sutradara mengatur para pemain drama. Memang, perempuan tua itu sedang mengatur pertemuan antara Bangsacara dengan Ragapadmi. Di dalam ia berkata setengah berbisik.
“Rãgapadmil Lihatlah itu kakangmu dãtàng. Sambutlah dia,dan jangan lupa bawalah tempat sirih mu” Pada waktu itu Ragapadmi mengenakan kain limaran. Kembennya berwarna jingga bergaris tepi ungu, sewarna dengan bunga kenanga yang selalu terselip di lekuk sánggulnya. Sambil menyangga tempat sirih di tangan kin, ia keluan menuju pendapa. Langkahnya lemah gemulai. Seraya mengangsurkan cerana ia berkata, “Selamat datang Kakang. Silakan meramu sirih terkarang dengan tembakau dan Semarang, sedangkan kapurnya buatan Surabaya.” Bangsacara seolah-olah tidak mendengar sapaan Ragapadmi. Kekagumannya telah merenggut kesadaran hatinya. Perasaannya seperti sedang bermimpi didatangi bidadari. Biji matanya keluar dan berputar-putar makin lama makin lebar. Dan tiba-tiba tubuh nya menjadi kaku, pikirannya beku. Kesadarannya lenyap sama sekali terpagut keadaan yang sama sekali tak pernah diduganya. Bangsacara lupa diri, la jatuh terjerembab dan pingsan. Ibunya dengan tergopoh-gopoh menolong sambil memanggil-manggil nama anaknya. “Bangsacara! Bangsacara! Kenapakah engkau Bangsacara!?” dan kemudian ia memanggil anak angkatnya, “Ragapadmi tolonglah kakangmu ini Nak, lekas.” “Aku tidak berani, But Aku takut. Aku masih ingat bagaimana waktu itu Kakang Bangsacara demikian enggannya kepadaku. Ibu pasti belum lupa ketika Kakang Bangsacara bersumpah dengan mçnaburkan tanah. OIeh karena itubagaimana mungkin aku boleh membantu. Aku tidak mau dipersalahkan. Bahkan barangkali akan didakwa telah menghancurkan sumpahnya. “Demikian jawab Ragapadmi dengan suara lemah-lembut fetapi tegas. Akan tetapi ibu angkatnya masih mencoba membujuk, ujarnya,
“Anakku Ragapadmi! Janganlah engkau bersitegang. Kasihanilah kakangmu, Ragapadmi! Berilah ia obat, yaitu dengan cara meludahinya. Dalam hal ini akulah sesungguhnya yang harus kau ingat. Akulah yang minta kau kasihani. Sebab jika kakangmu terlanjur mati, mungkin aku akan menjadi gua dan bergelan dangan sepanjang jalan. Sampai hatikah engkau melihat aku demikian?” Suara orang tua itu semakin merendah dan merendah karena menahan tangis. Meskipun demikian ia masih meneruskan kata-katanya yang belum selesai, lalu sambungnya, “Seandainya Bangsacara marah dan menganggap engkau telah berbuat salah, katakanlah bahwa itu atas permintaanku. Akulah yang bertanggungjawab.” “Baiklah jika demikian. Aku hanya sekedar memenuhi permintaan,” jawab Ragapadmi lembut. Sambil menjawab ia meraih tempat sirih, yang tadi terlempar ketìka Bangsacara jatuh pingsan. la mengambil dua lembar daun sirih, sejimpit kapur, secuil pinang dan gambir. Kemudian dikunyahnya lambat-lambat, seraya menggeser letak duduknya diarah kepala Bangsacara. Jaraknya kira-kira sejauh orang meludah. “Cuh!” Ragapadmi meludah. Tepat ketika tubuhnya kena itu dan Bangsacaa tampak begerak. Matan ya terbuka berputar-putar tetapi belum kuasa bangkit. “Ulangi sekali lagi, Ragapadmi!” pinta ibu angkatnya, dan yang diperintah menurut. Ludah sirih yang kedua terpercik sudah. Bangsacara serentak bangkit, langsung menangkap kedua lengan Ragapadmi. Ragapadmi terkejut dan berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi meskipun ia telah menarik sekuat tenaga, usahanya sia-sia belaka. Bangsacara mengukuhi pegangannya seperti elang mencengkeram anak ayam. Perlahan-lahan ia mendekat, kemudian pinggang Ragapadmi dipeluk, tubuhnya diangkat ialu dibawa duduk dibalai-balai. 

Dalam keadaan demikian terasa pilu kalbu Ragapadmi. Hatinya berdesir hebat sekali hingga matanya berkunang-kunang dan ronanya mendadak menjadi pucat pasi. Tulangnya terasa seperti terlepas, sungsumnya seperti lolos, la terkulai pingsan dipangkuan Bangsacara. Sekarang Bangsacaralah yang cernas setengah mati. “Ragapadmi, Ragapadmi! Kenapa engkau ini? Tegakah engkau padaku? Bangunlah Ragapadmi, jika engkau benar-benar saying kepadaku. Bangunlah!” Tak henti-hentinya Bangsacara mencoba menyadarkan Ragapadmi dan pingsannya dengan kata-kata yang Iemah lembut. Rambutnya dibelai-belai mesra, sedangkan bibirnya dikecup berulang-ulang dengan harapan agar supaya lekas dapat berbicara. Sesudah beberapa saat lamanya, perlahan-lahan Ragapadmi mulai sadar akan dirinya. Dengan suara lirih bercampur tangis ia berkata, “Jangan Kakang, jangan! Lepaskan aku. Hatiku kacau tak menentu.” “Kacau? Bolehkan aku mengetahui apa gerangan sebabnya?” tanya Bangsacara dengan nada mesra. “Sebabnya ialah, karena aku masih ingat benar apa kata-kata Kakang Bangsacara dulu. Pernyataan ketidak sudian kakang kepadaku seperti banjir melanda pasir di pinggir sungai. Bahkan seperti api menerjang ilalang kering. Sekarang ternyata kakang tidak menepati janji. Kakang telah melanggar sumpah kakang sendiri, sehingga aku ngeri. Jangan-jangan sumpah kakang akan benar-benar terjadi.” “Oh, maafkanlah aku, Ragapadmi! Aku benar-beriar menyesal, Menyesal sekali. Kini aku sangat mendambakan cintamu, sebagai pelerai hati yang amat pilu. Mudah-mudahan cinta mu yang tulus akan melepaskan aku dan kematian yang mengerikan.” Sejak berangkat meninggalkan istana, Ragapadmi memang telah berjanji dalam hati akan setia sampai mati pada Bangsacara. Kini Bangsacara mohon cintanya yang tulus serta kesetiaan yang murni. Meskipun mula-mula ia ngeri, akan tetapi akhirnya melemah dan pasrah. Pasrah pada Bangsacara serta pasrah pada kekuasaan dan takdir Illahi. la pun berharap, seperti harapan Bangsacara. Dan diruang dalam, dibalik dinding seorang wanita tua juga mengembang harapannya. Dikelopak matanya tergenang air mata bahagia. “Semoga anak-anak ku tetap rukun dan sejahtera.” Ujarnya Lembut. By : S.Z. Hadisutjipto 






Posted by : Den Agus

0 comments:

Post a Comment